Jakarta – Sigit Rochadi, sosiolog dari Universitas Nasional Unas, berpendapat bahwa pengentasan kemiskinan mengharuskan pemerintah meluncurkan program-program sosial yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja
Program padat karya karena jumlah angka kemiskinan tahun 2020 dan 2021 meningkat sekitar 3% sampai 5% yang disebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan banyak usaha yang kehilangan pasar karena pandemi Covid-19.
“Kalau sebelumnya cuma sekitar 9,6 juta orang, sekarang sekitar 12 juta penduduk miskin. Dikatakan 2021 ini akan menurun 20% itu sangat sulit,” ucapnya saat dihubungi Beritasatu.com, Senin (22/11/2021) dilansir beritasatu.com.
Sigit menyebutkan, sulit terwujud karena fokus pemerintah saat ini yakni pada pertumbuhan ekonomi yang digunakan sebagai instrumen untuk memerangi kemiskinan. Sedangkan, pada tahun 2020 dan 2021, ekonomi Indonesia tumbuh hanya 3%. Pertumbuhan ekonomi ini belum cukup mengurangi angka kemiskinan .
Apalagi, ada penambahan angka kemiskinan dari tenaga kerja terdidik yaitu lulusan SMA/SMK/D3 dan S-1 yang belum terserap lapangan kerja. Menurut Sigit, menyiapkan lapangan kerja lebih mendesak dibandingkan pengentasan kemiskinan yang sudah menjadi isu klasik. Karena angka kemiskinan Indonesia masih tergolong penduduk miskin yang tidak ekstrem atau tidak tergolong melarat.
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah untuk mengubah target. Pasalnya, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menargetkan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia berkurang 20% pada tahun ini.
Menurut Sigit, kondisi kemiskinan di Indonesia saat ini tidak termasuk dalam kategori kemiskinan ekstrem karena kelompok tersebut jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan, masalah kemiskinan saat ini disebabkan oleh kelompok miskin baru akibat Covid-19.
“Kemiskinan di Indonesia itu masih berada pada kelompok miskin dan belum masuk kelompok melarat,” ucapnya.
Menurut Sigit, upaya pemerintah melalui Program Keluarga Harapan (PHK) dan mengizinkan dana desa untuk penduduk miskin ini sudah berhasil mencegah orang yang berada digaris kemiskinan jatuh melarat. Artinya, Indonesia belum sampai ke kelompok ekstrem karena bantuan sosial. Selain itu, Indonesia memiliki modal sosial budaya berupa tolong menolong dan gotong royong yang sangat tinggi sehingga mencegah orang miskin masuk ke kelompok miskin ekstrem.
Dikatakannya, pengertian kemiskinan di Indonesia ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu makan secara cukup 3 kali sehari atau jika dihitung dengan rupiah, kelompok miskin ini adalah mereka yang konsumsi dalam satu hari kurang dari Rp 30.000. Sedangkan kelompok miskin ekstrem ini satu kali hanya mampu makan satu kali dan tidak memiliki tempat tinggal.
“Kemiskinan ekstrem itu mereka yang tidak mampu makan sehari tiga kali dan hanya bisa sekali dan tidak punya rumah. Ini lebih masuk untuk kelompok gelandangan yang berpindah-pindah tempat. Yang tidak memiliki kepastian untuk apa yang ingin dia konsumsi pada hari ini. Itu masuk kelompok ekstrem di negara kita yang masuk kelompok ekstrem seperti sangat kecil,” katanya.
Dikatakannya, fokus pada miskin baru akibat PHK dan yang terdampak pandemi serta kelompok terdidik apabila kelompok terdidik yang tidak mendapat lapangan kerja bisa mengancam kestabilan politik di tahun 2023 dan 2024.
“Penganggur terdidik jauh lebih berbahaya daripada pengangguran yang tidak terdidik,” ucapnya.
Sigit menyebutkan, kelompok terdidik yang tidak mendapat lapangan kerja ini akan muncul radikalisme. “Apalagi tahun 2023 dan 2024 merupakan tahun politik bisa menjadi bahan bakar yang sangat baik bagi orang-orang ingin memicu kerusuhan,” katanya.(*/cr2)