Site icon SIN Manokwari

PR Bagi Kapolri Baru

JAKARTA, SINMANOKWARI.COM – Kursi sebagai Kapolri memang belum sepenuhnya didudukinya, namun setumpuk PR sudah menghadangnya. Banyak pengamat dan elemen masyarakat serta lembaga negara yang memberikan gambaran seperti apa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh Kapolri baru nantinya.

Diantara masukan terkait pekerjaan rumah Kapolri baru itu, cukup komprehensif kiranya apa yang disampaikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seperti dikutip oleh TEMPO, CO, LPSK mencatat ada 7 hal yang perlu diperbaiki oleh calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo nantinya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan catatan pertama adalah soal penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian saat menjalankan tugasnya. Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan buram masyarakat sipil Indonesia. Merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan dimana pelaku dominan adalah oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban meninggal dunia.

Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan 6 orang laskar FPI dimana rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana.  Sejauh ini  kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.

“Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan,” tutur Edwin Wakil Ketua LPSK.

Catatan kedua LPSK adalah mengenai penanganan kasus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang akhir akhir ini memakan banyak korban pengguna sosial media. Menurut Edwin, catatan yang menjadi sorotan dalam perkara ini adalah sikap imparsialitas polisi dalam menindak pelaku tanpa memandang afiliasi politiknya. “Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tuturnya.

Pernyataan dari LPSK ini memang tidak salah tentunya karena sejauh ini Polri terkesan menyasar pihak pihak tertentu saja dalam menegakkan hukum atas perkara hoak dan ujaran kebencian khususnya di sosial media. Mereka yang menjadi buzzer buzzer penguasa terkesan kebal hukum karena tidak pernah di proses untuk dimasukkan ke penjara. Sebaliknya mereka yang berasal dari kelompok oposisi begitu sigap aparat memprosesnya.

Para buzzer istana yang suka menebar kebencian, fitnah dan berita hoaks itu sudah berkali dilaporkan kepada pihak berwajib tapi nyaris tak satupun yang berhasil di giring ke penjara. Beberapa contoh diantaranya, Abu Janda pernah dilaporkan Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) ke Badan Reserse Kriminal Polri pada, 10 Desember 2019 lalu namun tidak ada kelanjutan kasusnya.

Pada tanggal 1 November 2019 lalu, Fahira Idris, anggota DPD RI dari Jakarta, resmi melaporkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando ke Polda Metro Jaya. Pelaporan itu adalah buntut unggahan meme Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tata rias tokoh fiksi Joker, oleh Ade Armando.

Namun sampai sekarang belum jelas bagaimana tindaklanjut kasus tersebut karena tidak ada kabar beritanya. Mengenai Ade Armando sudah berkali kali dilaporkan ke polisi karena unggahannya dimedia sosial yang dianggap mengandung ujaran kebencian, dan berita dusta.

Buzzer penguasa lainnya,Denny Siregar dilaporkan ke Polres Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan itu terkait unggahannya di media sosial yang diduga menghina santri cilik dari sebuah pesantren yang ada disana. Pihak kepolisian membenarkan adanya laporan terhadap Denny. Laporan dibuat oleh Ustaz Ruslan namun sampai saat ini tidak terdengar kelanjutan penanganan perkaranya.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa aparat kepolisian masih belum bertindak secara adil untuk memperlakukan para penyebar hoak dan ujaran kebencian khususnya di sosial media. Pada hal para buzzer penguasa itu sebagaian mendapatkan pembiayaan dari negara yang artinya uang rakyat yang dipakainya. Karena itu menjadi tantangan baru Kapolri baru untuk bisa bertindak adil dalam menegakkan hukum dalam perkara penyebaran hoak dan ujaran kebencian terutama di sosial media.

Catatan Ketiga, yaitu pentingnya polisi mengedepankan restorative justice dalam penegakan hukum yang dilakukannya. Menurut LPSK,  penjara sudah penuh sehingga sudah waktunya polisi menggunakan pendekatan restorative justice sebagai penyelesaian tindak pidana.

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.

Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelakunya.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana.

Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelakunya. Konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.

Konsep pendekatan restorative justice seperti dikemukakan diatas itulah kiranya yang perlu di jalankan oleh Kapolri baru setelah sekian lama penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri terkesan mengabaikannya.

Catatan Keempat adalah terkait dengan  isu korupsi di tubuh kepolisian. Edwin mencontohkan kasus Djoko Tjandra yang menyeret dua jenderal polisi menjadi tersangka. Dia bilang praktek suap dan pungutan liar masih dikeluhkan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam menjalankan tugasnya. Dia bilang Kapolri baru harus memperbaiki kinerjanya terkait dengan korupsi yang melibatkan internalnya.“Menjadi tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik,” ujarnya.

Catatan yang disampaikan oleh LPSK ini kiranya memang benar adanya. Pungli dan korupsi telah mengakar di tubuh Polri dimana pelakunya dari tingkatan bintara hingga perwira. Selain kasus terakhir yang melibatkan tiga jendral polisi dalam perkara Djoko Tjandra. Sebelumnya , lembaga Kepolisian juga pernah menjadi sorotan lantaran rekening gendut milik seorang bintara polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Papua. Adalah Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus, anggota Kepolisian Resort Sorong, Papua, pemilik rekening gendut  karena triliunan nilainya.

Kasus rekening gendut para perwira Polri  di Jakarta juga sempat menjadi berita hangat meskipun kemudian tidak jelas bagaimana kelanjutan penanganannya. Yang jelas penyelesaian masalah internal Polri terkait korupsi dan suap  ini menjadi PR bagi Kapolri baru yang terpilih nantinya.

Karena sebagai institusi pelayan masyarakat, institusi Polri haruslah bersih dari segala praktik korupsi para anggotanya. Karena korupsi termasuk kejahatan luar biasa selain tindak pidana terorisme dan narkoba. Untuk itu, sekurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi di tubuh institusi Korps Bhayangkara. Yang pertama, adalah membangun keteladanan para perwira tinggi Polri dengan hidup jujur dan sederhana. Karena Polri itu menganut sistem komando, jika dari atas bersih, maka ke bawah juga akan bersih pula. Oleh sebab itu, para perwira di kepolisian harus dapat menjadi teladan bagi anak buahnya.

Langkah kedua, adalah rekrutmen, rotasi, mutasi dan promosi di tubuh Polri dimana proses-proses tersebut haruslah berjalan transparan dan akuntabel dalam pelaksanannya.  Selain itu diberlakukan assessment rekam jejak dan kualitas calon yang dicalonkannya. Tanpa adanya proses yang transparan dan akuntabel, maka ia akan menjadi lahan untuk saling jegal menjegal, permainan kotor dan pada akhirnya menumbuhkan personil Polri yang tidak mumpuni karena ketidakjelasan orientasinya.

Langkah ketiga adalah peran pengawasan internal Polri dilakukan perlu perubahan radikal, agar mampu mengawasi gerak-gerik anggota Polri dalam menjalankan tugas dan berperilakunya. Hal tersebut agar tidak ada anggota Polri yang bersikap sewenang wenang sehingga menyalahi fungsi dan tugasnya.

Paling tidak dengan tiga langkah ini saja bisa mengurangi adanya perilaku korupsi dan pungli yang saat ini masih menjadi momok bagi Polri sehingga mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat Indonesia. Fenomena ini menjadi PR bagi Kapolri baru nantinya untuk bisa menyelesaikannya.

Catatan Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional sehingga harus dicari solusinya.  Model kejahatan yang berkembang mulai  dari grooming hingga pemerasan, dimana banyak pelaku melakukan aksinya karena pengaruh konten pornografi di sosial media. “Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya,” kata Edwin dalam keterangannya.

Apa yang disampaikan oleh LPSK terkait dengan kekerasan terhadap anak dan perempuan itu menjadi tantangan baru bagi Kapolri baru tentunya. Mau tidak mau penegakan hukum terhadap kasus tersebut harus dilakukan secara adil dan  tranparan dimana siapapun yang menjadi pelakunya harus dihukum untuk menimbulkan efek jera. Efek jera ini perlu dimunculkan agar kejadian serupa tidak terulang untuk yang kedua kalinya.

Dalam kaitan ini maka Polri sebagai mitra masyarakat perlu memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka agar mau melaporkan bila melihat ada insiden pelecehan atau kekerasan pada anak dan perempuan dilingkungannya .

Dalam menghadapi adanya kekerasan dan pelecehan terhdap anak dan perempuan maka Polri perlu bekerjasama dengan pihak pihak terkait dalam menjalankan tugasnya. Sebagai contoh kerjasama dengan Komnas Perlindungan Anak dan kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan anak dan perlindungan perempuan pada umumnya.

Catatan Keenam menurut LPSK,  calon Kapolri perlu memperbaiki kerja sama antara polisi dengan penegak hukum lain seperti KPK, Kejaksaan Agung dan LPSK.  “Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi, tidak berhenti menjadi slogan,” tutur Edwin Wakil Ketua LPSK.Ia juga mengapresiasi Polri atas kolaborasinya selama ini dengan LPSK dalam perlindungan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan terorisme. Harapannya, kolaborasi itu dapat berlanjut di perkara lain seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Sinergi antar lembaga penegak hukum dalam menangani suatu tindak pidana memang sangat diperlukan, sebab selain bisa menjaga baik hubungan antar lembaga. Sinergi terkadang diperlukan untuk memudahkan mengungkap perkara. Dalam kasus tindak pidana korupsi misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang kerap melibatkan lembaga lain untuk mendukung kinerjanya.

Contoh mudah apabila melakukan penggeledahan, penyidik KPK kerap kali meminta bantuan aparat kepolisian untuk melakukan pengawalan selama prosesnya. Begitu juga bila melakukan pemeriksaan saksi di daerah, KPK seringkali meminjam kantor kepolisian untuk menggali keterangan para saksi yang dipanggil untuk melengkapi berkas perkara.

Sinergitas antar lembaga penegak hukum ini harus selalu dijaga dan kalau perlu ditingkatkan supaya penegakan hukum bisa berjalan sebagaimana harapan kita bersama. Karena saat ini masih ada kesan adanya rebutan kewenangan misalnya antara Polri dan Kejaksaan dalam perkara penanangan kasus korupsi sebagaimana tercium pada kasus penanganan Djoko Tjandra.  Dengan demikian membangun sinergitas antara aparat penegak hukum menjadi PR Kapolri baru nantinya.

Catatan terakhir, adalah terkait dengan strategi Polri dalam meningkatkan keamanan di beberapa zona yang rawan tindak kekerasan seperti Sulawesi Tengah dan Papua. Menurut Edwin Wakil Ketua LPSK, satu Polri sisi perlu memperhatikan strategi untuk melindungi masyarkat, sementara disisi lain  melindungi keamanan anggotanya dengan memberikan perlengkapan dan kesejahteraan bagi personel yang diterjunkan ke daerah konflik yang mengancam keselamatan jiwanya.

Untuk itu calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo menjurutnya  harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah seperti Sulteng dan Papua. Langkah yang bisa dilakukan ialah dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah karena berkaitan dengan keselamatan jiwanya.

Demikianla beberapa catatan dari LPSK yang menjadi PR Kapolri baru nantinya. Tentu bukan suatu hal mudah untuk mewujudkannya. Tetapi dengan tekad dan kemauan yang kuat tidak mustahil Kapolri baru ini lebih moncer kinerjanya daripada pejabat sebelumnya.

Sebenarnya bukan hanya LPSK yang mengingatkan Kapolri baru atas PR yang harus diselesaikan setelah menduduki kursinya. Lembaga lain seperti  Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)  juga berharap Kapolri baru nanti dapat memperbaiki kinerja kepolisian agar lebih baik nantinya.

Pertama, Kontras menyoroti keleluasaan Polri mengeluarkan diskresi  yang tidak digunakan dengan baik untuk mengisi kekosongan hukum sehingga kedepan diharapkan kewenangan penggunaan diskresi dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Sejauh ini menurut penilaian Kontras diskresi mewujudkan  dalam bentuk pembatasan kebebasan sipil sehingga mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Kedua, angka kekerasan oleh aparat kepolisian selalu mengalami keberulangan setiap tahunnya. Kontras memandang pembiaran terhadap kekerasan dilegitimasi dengan minimnya mekanisme pengawasan internal maupun eksternal sehingga membuat pelakunya leluasa melakukan aksinya

Ketiga, represifitas dalam penanganan aksi massa. Pendekatan kepolisian dalam menangani aksi massa mengalami kemunduran pada aspek penghormatan hak atas kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi negara. Bentuk-bentuk pemberangusan kerap terjadi pada saat sebelum, saat, sampai sesudah adanya aksi massa

Selanjutnya, Kontras memantau Polri menggunakan sumber dayanya untuk memberangus kebebasan berekspresi di sosial media. Metodenya dengan tafsir sepihak terhadap konten-konten yang dianggap penghinaan ataupun berita bohong melalui pendekatan penegakan hukum pidana.

Kritik kelima Kontras pada Polri ditujukan dalam aspek penempatan anggota Polri, terutama yang masih aktif pada lembaga-lembaga lain yang tidak berkaitan dengan fungsi keamanan negara. Kontras memandang hal ini rentan memunculkan konflik kepentingan karena aparat bisa berfungsi sebagai abdi penguasa bukan abdi negara.

Banyaknya penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri, maka tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi yang ada. Permasalahan ini merupakan hambatan kinerja Polri sehingga sudah sewajarnya dilakukan pembenahan demi kemajuan Polri itu sendiri nantinya

Tanpa adanya evaluasi secara segera terhadap kelembagaan Polri, maka tugas mulia berupa penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas dapat digunakan secara bias demi kepentingan-kepentingan eksternal yang dapat merugikan masyarakat dan mengancam Hak Azasi Manusia

Sederetan PR yan g disampaikan oleh LPSK maupun Kontras tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi Kapolri Baru yang terpilih nantinya.  Semoga saja Kapolri baru mampu menjalankan tugas dengan sebaik baiknya. (*/cr3)

Exit mobile version