Jakarta – Direktur Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengelolaan air untuk mengatasi kejadian cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan berbagai skenario dari yang paling berisiko rendah hingga skenario terburuk dengan risiko yang sangat tinggi. Pasalnya, pola cuaca ekstrem di Indonesia saat ini jauh lebih sering terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dilansir beritasatu.com.
“Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim adalah benar-benar nyata,” papar Dwikorita dalam keterangannya yang diterima Beritasatu.com, Kamis (16/12/2021).
Biasanya Indonesia hanya terkena bagian ekornya siklon saja. Tetapi sekarang justru bibit siklon tersebut muncul dan terbentuk di wilayah Indonesia. Terakhir, Siklon Tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 lalu.
Diungkapkan cuaca ekstrem akibat La Nina maupun siklon tropis membuat debit air akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan periode hujan yang terus berubah dari tahun ke tahun sejak adanya perubahan iklim akibat pemanasan global.
Berdasarkan data BMKG, fenomena anomali iklim La Nina-El Nino memiliki pola kejadian yang berulang. Dampak dari perubahan iklim membuat periode ulang fenomena anomali tersebut makin pendek dan makin sering kejadiannya.
Sebelum tahun 1980, periode ulang La Nina-El Nino 5 sampai 7 tahun, namun sejak 1980 periode ulang menjadi 2 sampai 3 tahun.
“La Nina di akhir tahun 2021 hingga Maret/April 2022 dapat berdampak pada peningkatan kejadian ekstrem, dan diprediksi curah hujan bulanan dapat meningkat sebesar 20% hingga 70% di atas normalnya. Hal ini selanjutnya dapat memicu peningkatan debit air permukaan dalam satu waktu di satu daerah,” kata Dwikorita.
Ketidaksesuaian kapasitas dan kesiapan dalam menghadapi tingginya curah hujan inilah yang kemudian menyebabkan air meluap dan meluber tidak terkendali sehingga menimbulkan bencana banjir. Ditambah pola hidup masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan sehingga membuat sungai semakin dangkal dan penuh sesak sampah.
“Manajemen air dari hal kecil, seperti irigasi di desa dan perkotaan hingga waduk penampung air yang dimiliki Indonesia saat ini sejatinya sudah bagus, hanya saja perubahan iklim membuat semuanya menjadi berbeda,” kata Dwikorita yang menekankan pentingnya manajemen pengelolaan air dalam menghadapi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Dwikorita menyebut bahwa saluran irigasi, sungai hingga waduk tidak siap dan belum dirancang dalam menghadapi pola cuaca ekstrem saat perubahan iklim. Karenanya, BMKG mendorong agar manajemen pengelolaan air di Indonesia juga turut mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan pola perubahan iklim yang ada.
Untuk menghadapi fenomena cuaca esktrem, lanjut Dwikorita, BMKG telah memutakhirkan sistem peringatan dini di berbagai daerah. BMKG menyediakan early warning system terkait bahaya hidrometeorologi.
Pertama, Meteorological Early Warning System yang mampu mendeteksi sistem prakiraan cuaca, Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) atau pusat peringatan dini terhadap badai tropis. Kemudian juga telah dikembangkan sistem peringatan dini perubahan iklim yang mampu memberikan Peringatan Dini Iklim Ekstrem, termasuk Peringatan Dini Kekeringan dan Karhutla.
BMKG juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga lain untuk memperkuat sistem diteksi dini, di antaranya dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Atas sinergi tersebut, BMKG mengaplikasikan SIH3 atau Sistem Informasi Hydrometeorology, Hydrogeology, dan Hydrology, sehingga data curah hujan dari BMKG secara otomatis dapat diakses oleh Kementerian PUPR dan Badan Geologi, untuk diolah lanjut oleh kedua kementerian dan lembaga tersebut untuk menyiapkan peringatan dini banjir, banjir lahar, longsor atau banjir bandang.
SIH3 sendiri adalah Portal Informasi Manajemen Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi di Indonesia, yakni pengelolaan hidrologi dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU), hidrometeorologi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan hidrogeologi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Pekerjaan rumah kami (BMKG) adalah terus meng-update kualitas sajian data dan informasi yang disajikan kepada publik, yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan,” pungkasnya.(*/cr2)